Aku Cinta Kebudayaan Indonesia
Budaya merupakan bagian dari manusia, tetapi banyak yang tidak menyadarinya..
Upacara Adat Saparan Bekakak di Ambarketawang
Indonesia
merupakan suatu negara yang memiliki beraneka ragam kebudayaan. Salah
satunya berada di Desa Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Kabupaten
Sleman. Kebudayaan ini bernama Saparan Bekakak atau juga bisa disebut
Bekakak Saparan, Saparan Gamping (Bekakak), dan Bekakak. Wujudnya berupa
upacara slametan atau upacara adat. Berikut akan dibahas lebih lanjut tentang upacara adat ini.
1. Sejarah
1.1. Arti Nama
Nama
upacara adat ini terdiri dari 2 kata, yakni “saparan” dan “bekakak”.
Kata “saparan” berasal dari kata sapar yang identik dengan ucapan Arab : Syafar, yang berarti bulan Arab yang kedua. Jadi, upacara adat ini dilakukan pada Bulan Sapar.
Sementara maksud dari kata “bekakak” ialah qurban baik hewan atau manusia yang disembelih sebagai persembahan.
Wujud bekakak yang dilakukan pada upacara adat ini hanya tiruan manusia
saja. Berwujud boneka pengantin dengan posisi duduk bersila yang
terbuat dari tepung ketan.
1.2. Asal Usul
Upacara
Adat Saparan Bekakak sudah muncul sejak tahun 1755 pada masa Sri Sultan
Hamengku Buwono I menetap di Pesanggrahan Ambarketawang. Sedangkan
mengenai tentang asal usulnya terdapat beberapa versi yang berkembang di
masyarakat. Versi tersebut antara lain :
1.2.1. Versi pertama ditulis ORS/Tim Potret (wartawan SCTV – Liputan 6) pada hari Minggu tanggal 27 April 2003 pukul 14:54.
Desa
Ambarketawang adalah sebuah wilayah perbukitan gamping atau batu kapur.
Seluruh warga desa menjalani kehidupan sebagai penggali batu kapur yang
saat itu digunakan untuk membangun Keraton Yogyakarta. Namun, usaha
penggalian batu kapur ini sring sekali menelan banyak korban jiwa. Di
antaranya adalah sepasang suami istri yang juga abdi dalem keraton. Sang
suami bernama Wirosuto.
Lantaran banyak korban yang berjatuhan, Sri Sultan Hamengku Buwono I yang memerintah saat itu mencari petunjuk untuk menyelesaikan permasalahan ini. Sultan pun bertapa di kawasan Gunung Gamping. Ternyata dalam pertapaannya, Sang Sultan mendapat wisik atau petunjuk dari para setan Bekasakan. Dalam wisik tersebut, penunggu tempat itu meminta sepasang pengantin dikorbankan setiap tahunnya demi kelancaran dan keselamatan kegiatan penggalian batu gamping. Namun Sultan berpikiran lain, wisik itu lantas ditanggapi melalui sebuah tipu muslihat. Yakni, dengan membuat sesaji berbentuk bekakak atau boneka pengantin untuk kemudian dikorbankan. Ternyata, tipuan itu berhasil. Dan, sejak saat itulah tradisi Saparan Bekakak menjadi sebuah rutinitas tahunan yang dilaksanakan di Desa Ambarketawang.
Lantaran banyak korban yang berjatuhan, Sri Sultan Hamengku Buwono I yang memerintah saat itu mencari petunjuk untuk menyelesaikan permasalahan ini. Sultan pun bertapa di kawasan Gunung Gamping. Ternyata dalam pertapaannya, Sang Sultan mendapat wisik atau petunjuk dari para setan Bekasakan. Dalam wisik tersebut, penunggu tempat itu meminta sepasang pengantin dikorbankan setiap tahunnya demi kelancaran dan keselamatan kegiatan penggalian batu gamping. Namun Sultan berpikiran lain, wisik itu lantas ditanggapi melalui sebuah tipu muslihat. Yakni, dengan membuat sesaji berbentuk bekakak atau boneka pengantin untuk kemudian dikorbankan. Ternyata, tipuan itu berhasil. Dan, sejak saat itulah tradisi Saparan Bekakak menjadi sebuah rutinitas tahunan yang dilaksanakan di Desa Ambarketawang.
1.2.2. Versi kedua ditulis oleh oleh Fir (wartawan KRjogja.com) pada hari Jum’at, 29 Januari 2010 pukul 19:27.
Pada
saat Sri Sultan Hamengku Buwana I memerintah & tinggal di
Pesanggrahan Ambarketawang, Gunung Gamping banyak memakan korban akibat
ulah makluk penunggu sepasang suami isteri Genderuwo dan Wewe. Mereka
meminta agar disediakan darah sepasang pengantin baru jika penduduk di
sekitar gunung Gamping dan Gunung Kliling ingin selamat. Akhirnya, demi
keselamatan, penduduk terpaksa menyerahkan pasangan pengantin baru
sebagai bekakak. Penyembelihan bekakak ini harus dilaksanakan setiap
bulan Sapar.
Mendengar
berita tersebut abdi dalem penongsong Ki Wirosuto yang tinggal di
Pesanggrahan Ambarketawang mengikuti Sri Sultan Hamengku Buwana I
akhirnya turun lapangan untuk menyelamatkan warga. Pertarungan pun
terjadi. Ki Wirosuto yang senang melaksanakan laku tapa brata
sebagaimana Ngarso Dalem Sri Sultan Hamengku Buwana I, akhirnya mampu
mengalahkan Genderuwo dan Wewe. Tetapi, 2 makhluk tersebut tidak mau
mengakui kekalahannya. Sebelum meninggalkan arena pertarungan, Gendruwo
dan Wewe mengancam akan datang lagi untuk memangsa penduduk jika Ki
Wirosuto tidak ada di situ.
Karena
itu demi keselamatan warga, Ki Wirosuto tidak berani meninggalkan
Gunung Gamping. Bahkan ketika Sri Sultan Hamengku Buwana I pindah dari
Pesanggrahan Ambarketawang ke kraton yang sudah selesai pembangunannya
di Alas Pabringan, dengan sangat terpaksa Ki Wirosuto tidak bisa ikut
& memilih berada di tempat ini. Tinggal di suatu gua di Gunung
Gamping bersama keluarganya hingga akhir hayat. Akhirnya Ki Wirosuto
ditempatkan sebagai cikal bakal penduduk Gamping.
Melihat
kesetiaan dan pengorbanan Ki Wirosuto, Ingkang Sinuwun Sri Sultan
Hamengku Buwana I akhirnya memerintahkan untuk mengadakan upacara
selamatan bagi Ki Wirosuto setiap bulan Sapar atas kesetiaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar